Festival Budaya Melayu 2025 disiapkan Pemerintah Kota Pontianak sebagai momen strategis membangkitkan kecintaan generasi muda terhadap budaya lokal. Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono, menegaskan bahwa ajang budaya ini bukan sekadar perhelatan seremoni, melainkan langkah nyata memperkuat identitas Melayu di tengah derasnya arus globalisasi.
Berbicara dalam Musyawarah Daerah (Musda) Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) Kota Pontianak yang digelar di Hotel Harris, Minggu (18/5/2025), Edi menyoroti pentingnya regenerasi pelaku budaya.
“Kita ingin saat menjadi tuan rumah Festival Budaya Melayu tahun depan, adat dan budaya ini bisa benar-benar mewarnai kehidupan masyarakat, terutama generasi muda,” ujarnya.
Daftar Isi Festival Budaya Melayu 2025
Pelestarian Budaya Jadi Program Prioritas Pemkot
Festival Budaya Melayu dipandang sebagai momentum strategis yang akan memperkuat posisi Pontianak sebagai pusat kebudayaan Melayu Kalimantan Barat.
Pemkot berkomitmen menjadikan festival ini bukan hanya agenda daerah, tetapi berkembang menjadi ajang berskala nasional, bahkan internasional, dengan melibatkan berbagai daerah dan negara berakar budaya Melayu.
Edi menegaskan bahwa pelestarian budaya tak bisa dilepaskan dari peran aktif pemerintah. Oleh karena itu, ia memastikan bahwa dukungan fasilitas dan anggaran akan dialokasikan secara optimal untuk kegiatan budaya, termasuk penguatan organisasi adat dan pelibatan komunitas kreatif.
“Kita ingin budaya Melayu benar-benar menjadi karakter masyarakat Pontianak. Kami akan bantu dari sisi pendanaan, ruang, hingga promosi,” katanya.
Nilai Islami Jadi Pondasi Budaya Melayu
Budaya Melayu, menurut Edi, lekat dengan nilai-nilai Islami seperti kesantunan, rasa hormat kepada orang tua, serta semangat gotong royong. Nilai-nilai tersebut dianggap sejalan dengan pembangunan karakter bangsa dan menjadi benteng dari pengaruh negatif budaya luar.
“Kalau generasi muda punya akar budaya yang kuat, mereka tidak akan mudah terpengaruh oleh tren yang bertentangan dengan nilai-nilai kita,” tegasnya.
Pendidikan budaya lokal, lanjut Edi, telah mulai diterapkan sejak usia dini. Anak-anak di PAUD, TK, hingga jenjang SD diajak mengenal pakaian adat, musik tradisional, hingga filosofi budaya melalui kurikulum muatan lokal dan kegiatan resmi.
Gen Z Harus Terlibat Langsung
Salah satu sorotan utama Pemkot adalah kurangnya keterlibatan generasi muda dalam struktur adat. Saat ini, mayoritas pengurus organisasi adat masih didominasi oleh tokoh berusia di atas 40 tahun.
“Kita harus dorong Gen Z ikut ambil bagian. Justru di era digital ini, mereka bisa menjadi jembatan antara budaya dan teknologi,” tambah Edi.
Keterlibatan anak muda dinilai krusial agar pelestarian budaya berjalan berkesinambungan. Pemanfaatan media sosial, video pendek, dan konten digital dianggap mampu membawa budaya Melayu ke audiens yang lebih luas, termasuk lintas negara.
Festival Budaya Melayu Bukan Sekadar Tontonan
Edi menekankan bahwa Festival Budaya Melayu bukan sekadar pertunjukan atau hiburan semata. Festival ini harus menjadi ruang interaktif edukatif yang menyentuh semua lapisan usia. Mulai dari lomba permainan tradisional, workshop seni tenun, hingga diskusi budaya lintas generasi akan dikemas agar menarik dan informatif.
Dengan pendekatan yang lebih modern dan kolaboratif, Edi berharap festival tersebut menjadi ajang edukasi dan ekspresi budaya yang meriah sekaligus bermakna.
“Dengan keterlibatan aktif sejak kecil, mereka akan terbiasa dan tumbuh mencintai budaya sendiri. Ini langkah kita untuk mencegah generasi muda terpengaruh budaya luar yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kita,” pungkasnya.