Krisis Air Bersih Pontianak 2025 menjadi perhatian utama seiring lonjakan populasi kota yang kini hampir mencapai 700 ribu jiwa. Persoalan akses terhadap air layak konsumsi semakin kompleks, terutama dengan keterbatasan kualitas air yang diolah dan tantangan lingkungan yang mengintai sumber-sumber air baku.
Kondisi ini disampaikan langsung oleh Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono, dalam Forum Diskusi Knowledge Sharing Series yang diselenggarakan Universitas Panca Bhakti (UPB) bekerja sama dengan Universiti Malaysia Sarawak (UNIMAS), Kamis (15/5/2025).
Daftar Isi Krisis Air Bersih Pontianak 2025
Kapasitas Produksi PDAM Masih Terbatas
PDAM Tirta Khatulistiwa selama ini menjadi tulang punggung penyediaan air bersih bagi warga Pontianak. Namun, kualitas air yang diproduksi masih belum bisa dikonsumsi langsung. Menurut Edi, persoalan kebocoran pipa dan kontaminasi teknis di jaringan distribusi menjadi kendala utama.
“Kalau di instalasinya atau pengolahannya langsung, itu bisa langsung diminum. Tetapi kalau air yang sudah sampai ke rumah, belum bisa diminum langsung karena masih ada persoalan kebocoran pipa dan kendala teknis lainnya sehingga tidak dijamin higienisnya. Air harus dimasak dulu sebelum diminum,” ujarnya.
Air Tanah Bukan Pilihan
Mengapa Pontianak tidak mengandalkan air tanah seperti beberapa daerah lain? Edi menjelaskan, karakteristik tanah di wilayah ini kaya kandungan besi dan kapur, membuat proses pengolahan menjadi mahal dan kurang efisien.
Berbeda dengan daerah di Pulau Jawa yang dekat dengan pegunungan dan memiliki sumber air tanah yang lebih jernih, Pontianak tidak memiliki keunggulan geografis tersebut. Inilah sebabnya PDAM lebih mengandalkan Sungai Kapuas sebagai sumber air baku.
“Berbeda dengan daerah-daerah di Jawa yang dekat dengan gunung, air tanahnya lebih bening,” jelasnya.
Sungai Kapuas Terancam Tercemar
Namun, kualitas air Sungai Kapuas pun kini berada di ambang kritis. Wali Kota menyebut sejumlah penyebab degradasi ini, mulai dari limpasan pupuk dari perkebunan sawit, aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI), hingga limbah rumah tangga dan industri.
“Kemarin ada penelitian bahwa kandungan mikroplastik di air Sungai Kapuas sudah mendekati ambang rawan. Plastik tidak hancur, tapi terurai dalam air dengan waktu yang sangat panjang,” ucapnya prihatin.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa tingkat mikroplastik di Sungai Kapuas mendekati ambang rawan, menandakan ancaman serius bagi kesehatan masyarakat maupun ekosistem sungai.
Butuh Solusi dan Inovasi Manajemen Air
Melalui forum ilmiah ini, Edi berharap munculnya gagasan baru dalam manajemen air yang relevan dengan tantangan lokal. Kerja sama lintas institusi, termasuk dari kalangan akademisi seperti UPB dan UNIMAS, dinilai krusial untuk menciptakan inovasi dan teknologi pengolahan air yang berkelanjutan.
Pontianak membutuhkan sistem yang tidak hanya mengolah air, tetapi juga melindungi sumbernya secara menyeluruh. Mulai dari hulu sungai, hingga pemeliharaan jaringan distribusi.
“Forum seperti ini sangat penting, agar kita tidak hanya bicara tentang pengolahan teknis, tapi juga menjaga hulu air dari pencemaran dan degradasi,” tegas Edi.
Kebutuhan Mendesak: Infrastruktur dan Edukasi
Selain perbaikan teknis, Wali Kota juga menyoroti pentingnya edukasi publik dalam menjaga kualitas lingkungan. Masyarakat harus dilibatkan dalam menjaga kebersihan sungai, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, serta menghindari pembuangan limbah rumah tangga ke perairan.
Infrastruktur pengolahan air juga harus ditingkatkan. PDAM perlu didukung teknologi yang mampu menjamin kualitas air sampai ke titik distribusi akhir.