Menkeu Purbaya mengatakan terdapat dana daerah mengendap sebanyak Rp 234 triliun menjadi perhatian serius pemerintah pusat setelah realisasi belanja APBD hingga kuartal III-2025 tercatat berjalan lambat.
Meski pemerintah pusat telah menyalurkan anggaran dengan cepat, eksekusi pembangunan di tingkat daerah justru tertahan karena rendahnya serapan anggaran.
Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa akar persoalan bukan pada ketersediaan dana, melainkan pada ketidakcepatannya pengelolaan dan pelaksanaan belanja daerah.
“Rendahnya serapan tersebut berakibat menambah simpanan uang Pemda yang nganggur di bank sampai Rp 234 triliun. Jadi jelas, ini bukan soal uangnya tidak ada, tapi soal kecepatan eksekusi,” ujar Purbaya dalam rapat pengendalian inflasi tahun 2025 di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Senin (20/10/2025).
Belanja daerah yang lambat berisiko menahan perputaran ekonomi di tingkat lokal. Ketika pembiayaan pembangunan tidak berjalan, lapangan kerja tertunda, dan pemulihan ekonomi menjadi kurang terasa oleh masyarakat.
Menkeu Purbaya: Serapan Anggaran Lambat Hambat Ekonomi Daerah
Dalam paparannya, Purbaya menjelaskan realisasi belanja APBD hingga September 2025 baru mencapai 51,3% atau Rp 712,8 triliun dari total pagu Rp 1.389 triliun. Jumlah tersebut lebih rendah 13,1% dibanding tahun sebelumnya.
Anggaran yang tidak bergerak pada akhirnya justru mengendap di bank daerah sebagian besar dengan status deposito.
Bagi pemerintah pusat, hal ini bukan sekadar pelambatan, tetapi juga cermin lemahnya perencanaan dan keberanian daerah dalam mengimplementasikan kebijakan pembangunan.
Di saat masyarakat masih menghadapi tantangan ekonomi pascapandemi, dana publik sebesar itu tidak boleh hanya menjadi angka di rekening.
Belanja Modal Jadi yang Paling Menurun
Dari seluruh kategori pengeluaran, belanja modal tercatat paling mengkhawatirkan. Purbaya menyebut hanya Rp 58,2 triliun yang terealisasi atau turun lebih dari 31%.
Padahal, belanja modal adalah katalis pembangunan fisik yang berdampak langsung pada penyerapan tenaga kerja.
Belanja barang dan jasa ikut turun 10,5%, sementara pos belanja lainnya merosot hingga 27,5%. Sementara belanja pegawai relatif stabil, turun tipis 0,7%.
“Artinya, perputaran ekonomi daerah berjalan lebih lambat. Kalau kita rinci, belanja pegawai relatif stabil turun tipis 0,7%, tapi yang perlu perhatian serius adalah belanja modal hanya Rp 58,2 triliun atau turun lebih dari 31%. Padahal ini belanja yang langsung berdampak ke pembangunan dan lapangan kerja,” jelas Purbaya.
Arahan Menkeu Purbaya: Percepat Eksekusi, Jaga Integritas
Purbaya mendorong kepala daerah dan organisasi perangkat daerah mempercepat realisasi belanja produktif. Menurutnya, penyimpanan dana memang diperlukan sebatas kebutuhan kas, tetapi tidak boleh berlebihan.
Ia mengingatkan, pemerintah pusat telah menjaga disiplin fiskal, sehingga daerah seharusnya bergerak cepat melanjutkan roda pembangunan.
“Saya ingatkan, percepatan realisasi belanja terutama yang produktif harus ditingkatkan dalam tiga bulan terakhir tahun ini. Uang daerah jangan dibiarkan mengendap di kas atau deposito,” tegasnya.
Daerah dengan Dana Mengendap Tertinggi
Berikut 15 pemerintah daerah dengan simpanan tertinggi berdasarkan data Kementerian Keuangan:
- Provinsi DKI Jakarta – Rp 14,6 triliun
- Provinsi Jawa Timur – Rp 6,8 triliun
- Kota Banjarbaru – Rp 5,1 triliun
- Provinsi Kalimantan Utara – Rp 4,7 triliun
- Provinsi Jawa Barat – Rp 4,1 triliun
- Kabupaten Bojonegoro – Rp 3,6 triliun
- Kabupaten Kutai Barat – Rp 3,2 triliun
- Provinsi Sumatera Utara – Rp 3,1 triliun
- Kabupaten Kepulauan Talaud – Rp 2,6 triliun
- Kabupaten Mimika – Rp 2,4 triliun
- Kabupaten Badung – Rp 2,2 triliun
- Kabupaten Tanah Bumbu – Rp 2,11 triliun
- Provinsi Bangka Belitung – Rp 2,10 triliun
- Provinsi Jawa Tengah – Rp 1,9 triliun
- Kabupaten Balangan – Rp 1,8 triliun
Data ini menunjukkan bahwa daerah dengan fiskal kuat justru menyimpan dana besar yang seharusnya sudah bisa dimanfaatkan lebih cepat untuk pembangunan.