Pencegahan korupsi Pontianak kembali digencarkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) melalui aksi kreatif di ruang publik.
Car Free Day (CFD) di kawasan Ayani Megamal, Minggu (10/8/2025), berubah menjadi panggung kampanye “Merdeka dari Gratifikasi” yang memikat perhatian warga.
Ratusan peserta CFD menerima bendera merah putih mini bertuliskan pesan anti-gratifikasi, lengkap dengan stiker yang ditempel di baju.
Kegiatan ini merupakan bagian dari strategi Trisula yang digagas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menekan praktik korupsi di daerah.
Pencegahan Korupsi Pontianak, Tantangan Masih Besar
Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono menyebut upaya pencegahan korupsi di kota ini berjalan baik. Pada 2024, capaian Monitoring Center for Prevention (MCP) mencapai skor 93,32, menempati peringkat ketiga di Kalimantan Barat.
Indeks Survei Penilaian Integritas (SPI) juga mencatat angka 77,72, lebih tinggi dari rata-rata nasional dan provinsi. Namun, Edi mengakui masih banyak warga dan aparatur sipil negara (ASN) yang salah kaprah memahami gratifikasi.
“Masih ada yang menganggap gratifikasi itu hadiah biasa yang boleh diterima tanpa batas. Padahal, aturan sudah jelas,” ujarnya di sela CFD.
Aturan Gratifikasi: Wajib Tahu Batasan dan Sanksinya
Di Pontianak, pemberian yang masuk kategori gratifikasi hanya diperbolehkan maksimal Rp300 ribu per orang dengan total setahun tidak melebihi Rp1 juta.
Inspektur Kota Pontianak, Yaya Maulidia, menegaskan aturan ini berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
“Kalau nilainya melebihi batas, itu sudah masuk tindak pidana korupsi. Ancaman hukumannya minimal 4 tahun penjara hingga seumur hidup, dengan denda Rp200 juta sampai Rp1 miliar,” tegasnya.
Edukasi di Tengah Keramaian CFD
Yaya mengajak ASN dan masyarakat untuk menolak atau melaporkan setiap bentuk gratifikasi. Laporan bisa disampaikan lewat tiga jalur resmi yang telah disiapkan pemerintah.
“Kuncinya adalah kesadaran bersama. Semakin paham masyarakat, semakin kecil peluang korupsi,” ujarnya.
Bagi warga, kegiatan ini terasa berbeda. Rina (32) mengaku baru tahu batas nominal pemberian yang diperbolehkan.
“Selama ini saya pikir gratifikasi itu hanya kasus besar. Ternyata bisa juga di lingkup kecil,” katanya.
Andi (27) yang berolahraga di CFD juga merasa pendekatan ini lebih efektif ketimbang hanya lewat media sosial.
“Kalau dijelaskan langsung, kita bisa tanya. Jadi lebih paham dan bisa jelasin lagi ke orang lain,” ujarnya.
Pemanfaatan CFD sebagai ajang edukasi anti-gratifikasi menunjukkan bahwa pencegahan korupsi bisa dikemas secara santai namun berdampak.
Dengan memadukan kegiatan publik dan informasi hukum, pesan integritas dapat tersampaikan ke semua lapisan masyarakat.
“Integritas adalah benteng utama. Kalau semua pihak sadar, korupsi bisa kita tekan bersama,” tegas Edi.
Langkah ini diharapkan menjadi contoh bagi daerah lain. Pencegahan korupsi tidak hanya soal penindakan, tetapi juga membangun kesadaran sejak dini.