Penutupan KKT Singkawang 2025 diwarnai penandatanganan janji toleransi oleh 7 Kepala Daerah. Komitmen ini jadi kunci perdamaian dan pembangunan berkelanjutan.
Konferensi Kota Toleran (KKT) Singkawang 2025 resmi berakhir. Puncaknya adalah momen khidmat Penandatanganan Komitmen Bersama Penguatan Toleransi oleh tujuh kepala daerah yang mewakili 10 besar Kota Tertoleran di Indonesia.
Acara yang digelar SETARA Institute ini ditutup dengan tekad kolektif. Kehadiran para pemimpin ini, bersama perwakilan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan peserta konferensi, menegaskan bahwa isu toleransi bukan lagi sekadar wacana, melainkan agenda aksi yang harus diutamakan. Komitmen yang diteken ini adalah peta jalan menuju ruang-ruang sosial yang lebih damai, inklusif, dan berkeadilan.
Pembangunan Berkelanjutan Dimulai dari Kerukunan
Wali Kota Singkawang, Tjhai Chui Mie, menutup forum tersebut dengan pesan yang menggugah. Ia menekankan bahwa kerukunan dan toleransi adalah prasyarat mutlak bagi cita-cita pembangunan berkelanjutan. Tanpa fondasi sosial yang kuat, kemajuan fisik hanyalah ilusi.
“Kita ingin pembangunan yang berkelanjutan di negeri kita. Mari mulai dari daerah kita masing-masing dengan menjaga toleransi, kerukunan, dan inklusivitas,” ujar Tjhai Chui Mie.
Ia berharap, gema dari KKT Singkawang 2025 akan terus bergulir, memicu lahirnya langkah-langkah nyata yang menjadikan keberagaman sebagai kekuatan bangsa, bukan kelemahan.
Menurutnya, di era modernitas ini, sudah saatnya masyarakat meninggalkan pandangan usang yang kerap mengungkit-ungkit perbedaan. Keberagaman, tegas Wali Kota, seharusnya dirayakan, disyukuri, dan dijadikan modal sosial.
Ia berharap forum tersebut tidak berhenti sebagai ajang pertemuan, tetapi menjadi pemicu lahirnya langkah nyata dalam menjaga keberagaman sebagai kekuatan bangsa.
Ia menekankan bahwa modernitas seharusnya mendorong masyarakat untuk meninggalkan cara pandang yang mempertentangkan perbedaan.
“Jangan lagi kita mengungkit-ungkit perbedaan. Keberagaman hadir bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk disyukuri dan dirayakan,” katanya.
Keberanian Keluar dari Zona Nyaman Politik
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, turut memberikan apresiasi tinggi kepada para pemimpin yang hadir. Kehadiran para kepala daerah dari daftar Kota Tertoleran tersebut adalah bukti nyata leadership yang berani mengambil risiko politik demi membentengi masyarakat dari praktik diskriminasi dan persekusi.
Komitmen Melawan Praktik Intoleransi
Halili menyoroti fakta bahwa di banyak daerah, perjuangan untuk menjaga kebhinekaan masih menghadapi hambatan dan tantangan. Namun, komitmen yang lahir dari KKT Singkawang 2025 ini menunjukkan keberanian para pemimpin untuk melawan arus.
“Di banyak tempat, bahkan sebagian daerah di Indonesia, masih ada orang yang mengalami diskriminasi atau persekusi. Namun kehadiran bapak dan ibu di sini membuktikan bahwa Anda adalah sosok yang berani merawat keberagaman,” ujar Halili. Komitmen ini diharapkan menjadi perisai hukum dan moral bagi warga minoritas di daerah masing-masing.
7 Kepala Daerah yang menandatangani komitmen ini mewakili keberhasilan kebijakan pro-toleransi, baik dalam hal perizinan rumah ibadah, perlindungan terhadap kelompok rentan, hingga jaminan kebebasan berkeyakinan. Merekalah wajah optimisme Indonesia.
Toleransi sebagai Amanah Moral dan Ketuhanan
Pesan Halili Hasan tidak berhenti pada dimensi politik dan sosial. Ia membawa isu toleransi ke ranah yang lebih dalam: dimensi spiritual dan akuntabilitas moral.
Pancasila dan Tanggung Jawab kepada Tuhan
Halili mengingatkan bahwa Pancasila lahir sebagai sebuah janji kebangsaan untuk mengakomodasi segala bentuk perbedaan. Namun, ia menekankan, nilai-nilai Pancasila memiliki bobot yang melampaui komitmen sekuler semata.
“Pancasila bukan sekadar komitmen kebangsaan, tetapi juga akuntabilitas ketuhanan. Kita sudah memilih menjadi bangsa yang beragam. Ketika perbedaan itu dikabulkan Tuhan, mengapa justru kita bertengkar? Apa tidak malu kita pada Tuhan?” ujarnya.
Penandatanganan komitmen bersama di KKT Singkawang 2025 ini harus dilihat sebagai momentum bersejarah.
Ini adalah janji suci para pemimpin untuk menjadikan toleransi sebagai program kerja prioritas, memastikan bahwa setiap kebijakan yang lahir di daerah mereka selalu berlandaskan pada prinsip keadilan dan inklusivitas. Singkawang, sebagai rumah bagi konferensi ini, telah sukses menginspirasi seluruh Indonesia.






