Demo anti korupsi mengguncang Manila, Filipina pada Minggu (21/9) ketika puluhan ribu warga memenuhi jalan menuju Istana Malacañan.
Mereka menuntut kejelasan atas skandal proyek pengendali banjir fiktif yang diyakini merugikan negara miliaran dolar.
Menurut laporan Inquirer, massa berpakaian hitam, banyak yang menutupi wajah dengan topeng, menyerbu Jembatan Mendiola yang merupakan salah satu jalur bersejarah menuju pusat kekuasaan di Filipina.
Suasana berubah tegang ketika barisan polisi berusaha menghentikan langkah demonstran.
Demo Anti Korupsi Mengguncang Manila, Dari Teriakan Hingga Ledakan Api
Bentrok pecah dan batu beterbangan dari arah massa, dibalas suara tembakan peringatan dari aparat.
Seorang saksi mata menggambarkan udara di sekitar jembatan dipenuhi bau bensin, asap hitam, dan sirene yang meraung tanpa henti.
Sebuah trailer terbakar, dengan asap pekat mengepul ke langit Manila. Massa bahkan mencoba membakar kendaraan lain.
Beberapa pengunjuk rasa terlihat mengibarkan bendera Filipina, sementara yang lain mengangkat bendera bajak laut “Jolly Roger” dari manga populer One Piece.
Anak Muda di Barisan Depan
Di antara kerumunan, terlihat pula wajah-wajah muda. Polisi mengklaim sebagian dari mereka masih di bawah umur.
Namun, topeng yang menutupi wajah membuat identitas mereka sulit dipastikan. Meski begitu, mereka ikut mendorong barisan polisi, bergabung dengan ribuan orang lain yang menuntut keadilan.
Hingga malam, sedikitnya 10 orang ditahan, sementara beberapa petugas dilaporkan mengalami luka-luka. Aparat berusaha menyeret perusuh keluar dari kerumunan, tetapi massa terus datang bergelombang.
Akar Kemarahan Publik
Unjuk rasa ini berawal dari skandal proyek pengendali banjir yang disebut “hantu”. Proyek tersebut, menurut penyelidikan awal, mengalirkan dana triliunan rupiah tanpa hasil nyata di lapangan.
Presiden Ferdinand Marcos Jr. dalam pidatonya pada Juli lalu menyinggung langsung kasus tersebut, di tengah serangkaian banjir besar yang merendam Filipina. Pernyataan itu menjadi pemicu, membuat publik semakin geram dan kehilangan kepercayaan pada pemerintah.
“Rakyat tidak bisa lagi diam. Korupsi ini sudah merenggut nyawa karena banjir yang tak pernah tertangani,” kata seorang aktivis lingkungan di lokasi demonstrasi.
Resign di Lingkaran Kekuasaan
Skandal ini tidak hanya menjerat nama pejabat teknis, tetapi juga mengguncang jantung politik Filipina.
Ketua DPR Martin Romualdez yang merupakan sepupu Presiden Marcos mengundurkan diri pekan lalu setelah penyelidikan resmi dimulai.
Lebih dari 30 anggota DPR serta pejabat Departemen Pekerjaan Umum dan Jalan Raya dituding menerima suap dari perusahaan konstruksi.
Tuduhan ini memperlihatkan dugaan pola suap sistemik dalam proyek infrastruktur pemerintah.
Departemen Keuangan memperkirakan kerugian mencapai 118,5 miliar peso (sekitar US$2 miliar) sepanjang 2023–2025.
Greenpeace bahkan menilai kerugian sesungguhnya bisa sembilan kali lipat, menembus US$18 miliar.
Presiden Minta Damai, Militer Siaga
Pada Senin (22/9), Marcos Jr. menyatakan dirinya “tidak menyalahkan rakyat” atas aksi turun ke jalan. Namun, ia mengimbau unjuk rasa berlangsung damai.
Militer juga ditempatkan dalam status “red alert” sebagai langkah antisipasi jika situasi semakin memburuk.
“Kami memahami kemarahan rakyat. Tapi jangan sampai perjuangan berubah menjadi kekerasan,” ujar Marcos dalam pernyataan resminya.
Masa Depan Demokrasi Filipina
Demo besar ini menjadi pengingat bahwa rakyat Filipina tidak tinggal diam menghadapi korupsi. Dari Mendiola hingga Istana Malacañan, suara mereka menggema: meminta transparansi, keadilan, dan akuntabilitas.
Banyak pihak menilai, jika kasus proyek banjir ini tidak ditangani dengan serius, maka gelombang protes bisa menjadi awal dari krisis politik yang lebih besar.
Filipina kembali dihadapkan pada pertanyaan lama: apakah pemerintahan yang dipimpin Marcos mampu mengembalikan kepercayaan rakyat?