Harga BBM Malaysia kembali jadi sorotan publik setelah pemerintah negeri jiran tersebut resmi mengumumkan tarif terbaru bahan bakar untuk periode 29 Mei hingga 4 Juni 2025.
Yang mengejutkan, BBM jenis RON 95 dibanderol hanya RM 2,05 per liter atau setara Rp 6.900, jauh di bawah harga pasar di Indonesia.
Harga BBM Malaysia Rendah karena Skema Subsidi Pemerintah
Sesuai siaran resmi Kementerian Keuangan Malaysia, harga BBM ditentukan secara mingguan. Harga RON 95, meski berada di angka tetap sejak Februari 2021, masih terus disubsidi besar-besaran oleh pemerintah Malaysia.
Berdasarkan laporan AP News akhir 2024, pemerintah Malaysia mengalokasikan anggaran sekitar RM 80 miliar atau Rp 272 triliun per tahun untuk subsidi energi. Sebagian besar anggaran tersebut disalurkan demi menekan harga RON 95 agar tetap terjangkau masyarakat.
Langkah ini dianggap sebagai bentuk kepedulian terhadap daya beli rakyat sekaligus strategi menstabilkan perekonomian domestik di tengah tekanan inflasi global.
Perbandingan Harga BBM Malaysia dan Indonesia: Selisih Mencolok
Harga BBM di Indonesia saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan Malaysia. Misalnya, RON 95 di Indonesia yang dijual melalui produk Pertamax Green 95, dibanderol seharga Rp 13.150 per liter. Artinya, harga BBM sejenis di Malaysia hanya setengahnya.
Berikut perbandingan harga BBM terkini di kedua negara:
Malaysia (Periode 29 Mei – 4 Juni 2025):
- RON 95: RM 2,05 (Rp 6.900)
- RON 97: RM 3,10 (Rp 10.400)
- Diesel Euro 5 B10/B20: RM 2,77 (Rp 9.300)
- Diesel Euro 5 B7: RM 2,97 (Rp 10.000)
Indonesia (Per 1 Mei 2025 – harga Pertamina):
- Pertalite (RON 90): Rp 10.000
- Pertamax (RON 92): Rp 12.400
- Pertamax Green 95: Rp 13.150
- Pertamax Turbo (RON 98): Rp 13.300
- Dexlite: Rp 13.350
- Pertamina Dex: Rp 13.750
Harga BBM dari penyedia swasta seperti Shell, BP, dan Vivo juga tak jauh berbeda, berkisar antara Rp 12.600 hingga Rp 13.200 untuk RON 92 dan RON 95.
Efek Subsidi BBM Malaysia dan Pelajaran untuk Indonesia
Strategi subsidi Malaysia terbukti menjaga harga BBM tetap rendah dan kompetitif. Namun, kebijakan ini juga menuai kritik dari kalangan ekonom karena dianggap membebani anggaran negara dan berpotensi tidak tepat sasaran.
Sebaliknya, Indonesia memilih skema subsidi terbatas, dengan hanya menanggung sebagian jenis BBM seperti Pertalite dan Solar, sementara harga BBM non-subsidi dilepas mengikuti harga pasar global.
Perbandingan ini memicu perdebatan di kalangan netizen dan pengamat energi tentang efisiensi subsidi, dampaknya terhadap defisit APBN, dan daya beli masyarakat.